Serial Kepahlawanan #1

Bagimu sahabat-sahabatku yang telah ikut ‘berjuang’
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar (Ali Imran :104)
Kalau bukan dirimu siapa lagi teman?
Orang mungkin akan mengira kita orang yang tidak punya kerjaan, atau bahkan berpandangan bahwa kita mengharapkan imbalan/pujian dari ‘kerja-kerja’ kita..
Ada yang berkomentar, “mas jangan-jangan ini program yang mencari-cari jamaah seperti di TV-TV itu”, ada lagi yang berkomentar dalam hati “ga punya kerjaan yang lain kali ya, mau-maunya ngurusi orang lain’, ada lagi komentar lucu “ hati-hati radikalisme lho”, komentar terakhir ini yang sering membuat saya tersenyum karena komentarnya sangat ‘tidak nyambung’
Orang lain memang mempunyai hak untuk berkomentar terhadap apa yang kita lakukan, Namun Sahabat, ada hal yang lebih ‘penting’daripada menanggapi komentar tersebut, bahwa banyak saudara kita yang membutuhkan ‘kerja-kerja’kita semua, bukan men’janji’kan tapi mengusahakan dan memberi bukti di hari nanti. Di balik semua usaha kerja kita, untukmu sahabatku  yang rela mengorbankan waktu, tenaga, ‘harta’ yang sebenarnya aku tahu betul  ‘harta’ kita masih ‘pas-pas’an,he..
meminjam kata-kata dari Sayyid Qutb " 
 "Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar."

Berikut ada Hadiah untukmu Sahabatku

Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengetahui berapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu. Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut, karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.


Apa yang dirasakan “orang luar” berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu yang tidak diketahui orang banyak. Maka, seorang penyair Arab terbesar, Al-Mutanabbi, mengatakan, “orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin diciptakan oleh kedermaanan. Orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.”

Akan tetapi, ada juga kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena, ia hidup ditengah-tengah mereka, setiap hari, bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Mereka harus menikmatinya. Maka, merekalah yang sering menggoda sang pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tetapi juga sekali-kali “turun” ke bumi.

Kedua sikap itu adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan. Sebab, hal itu akan mempercepat munculnya rasa puas dalam dirinya, sehingga karya yang sebenarnya belum sampai puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebab Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”

Panggilan turun ke bumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan, privasi kita akan sangat terganggu. Namun, itulah pajaknya. Akan tetapi, banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan mereka, karena tergoda “kembali” kehabitat manusia biasa, seperti angin sepoy yang mengirim ngantuk kepada orang yang sedang membaca, seperti itulah panggilan turun kebumi menggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, Rasul-Nya, dan jihad dijalan-Nya.

Maka, para pahlwan mikmin sejati berdiri tegak disana; diantara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan: tidak ada kepuasaan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.

-Anis Matta-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar